• Twitter

23 Februari 2016

Aku pergi...


Hai, merah.
Aku pernah izin padamu, aku pamit J ehm tidak, tidak mengatakannya secara langsung padamu, hanya melalui sedikit rangkaian kata pada sosial mediaku.
Maaf, aku bukan pergi tanpa alasan, begitu banyak pertimbangan yang bergejolak dalam hati ini, Langitku. Banyak, begitu banyak.
Aku sempat bersorak bahagia saat mendengarmu akan ke kotaku. Kukira ini benar-benar skenario Tuhan yang begitu indah, hingga Tuhan mengirimmu ke sini. Mungkin untuk merajut kembali kisah yang belum terselesaikan. Tapi, ternyata aku salah. Tuhan punya rencana lain. Kudengar, kekasihmu, mungkin lebih tepatnya mantan kekasihmu, berada pada satu kota denganmu? Aku senang mendengarnya, tapi sejujurnya, ada sedikit rasa ngilu.
Aku tak tau harus merespon apa, ketika suatu siang aku mendapat pesan darinya, ragu, antara ya atau tidak untuk membalas. Tapi, siapalah aku yang sok sombong tidak ingin membalas? Akhirnya aku membalasnya, walau ada sedikit rasa takut.

Merah, tapi tentu bukan persoalan itu. Aku pamit, bukan karenanya. Tapi karena hati, yang seolah berteriak lelah, mungkin ia terlalu lelah menunggu. Aku baru tau kalau hati ini rupanya terlalu lemah, ia tak bisa dibiarkan begitu lama, mungkin sangat lama. Semenjak hari itu, hari pertama kali kita bertemu, hati ini berdegup begitu kencang, hal yang serupa terjadi saat kita terakhir bertemu. Berapa lama? Mungkin sama dengan yang kau katakan pada mantan kekasihmu, 6 tahun. Tapi, apa yang kau katakan pada mantan kekasihmu tak kau katakan padaku, benar kan? Kau bahkan tak pernah mengatakan kau menungguku juga selama itu. Kau juga tak pernah mengatakan bahwa selama itu kau mencintai hanya satu hati, yaitu hatiku. Kau tak pernah mengatakan hal itu padaku merah. Hingga aku memutuskan untuk membuat kesimpulan sendiri, bahwa yang kau katakan pada mantan kekasihmu adalah kebohongan belaka. 17 bulan 17 hari, kau bersamanya, seharusnya bisa menggantikan sosokku, bukan? Yah, seharusnya demikian. Aku sempat berpikir, bahwa ia adalah subtitusi, tapi apapun itu, 17 bulan bukan waktu yang singkat utk sekadar menjadikannya subtitusi, ia sungguh wanita berharga yang seharusnya layak mendapat cintamu. Dan aku? Aku rela kau jadikan topik pembicaraanmu dengannya, untuk membebaskanmu dari ikatannya. Yah, aku hanya alasan yang kau buat-buat untuk agar kau bisa pergi darinya, kan?
Jika kau ingin mendengar kejujuranku, sejujurnya aku ingin kau mengatakan, “Tidak”. Tapi apalah dayaku, Langit. Nasi sudah menjadi bubur. Mataku yang selama ini tertutup rupanya telah dibukakan oleh sesosok pria.
Kau pernah katakan padaku, pikirkan kembali jika ia beda agama. Yah, lelaki itu, sebut saja Yuda. Lelaki 28 tahun yang beberapa bulan lalu menjalin hubungan denganku tanpa status. Yah, tentu saja tanpa status, aku tentu tidak mau menjalin hubungan dengannya terlalu jauh, takut kalau jatuh cinta, jatuhnya terlalu dalam. Lelaki dewasa itu seringkali bercerita padaku soal romansanya, diam-diam sebenarnya ia ingin mengajarkanku, bahwa tak ada gunanya berharap pada masa lalu, “Ada lebih dari satu juga lelaki di dunia ini dan kau masih berhenti di tempat yang sama? Bagaimana bisa berkembang?”, “Bunga, lelaki yang baik tak akan membiarkanmu”, dan masih banyak kalimatnya yang masuk dalam otak ini yang cukup aku saja yang menyimpannya. Itu sebabnya aku begitu bahagia dan ‘betah’ bersamanya, setiap hari ia memberikan kalimat-kalimat yang mendobrak logikaku, merah. Bahkan hingga detik ini, tak ada satu hari pun terlewatkan tanpa pesan darinya, walau hanya sekadar kata, “Hai”, ehm tidak, tidak setiap hari, tapi pasti ada saja lah pesan itu muncul di layar HPku. Lelaki itu juga mampu merubahku hingga menjadi begini, perempuan yang tak hanya duduk diam di kursi yang biasa disebut ‘menunggu’. Ya, ia mengajarkanku menjadi Lovablelady, perempuan penuh cinta, katanya, “Jangan lupa Bunga, spread the love today. Miracle happens to those who believe.” Kadang aku suka tersenyum sendiri jika mengingatnya. Saat ini, ia telah memiliki kekasih, “Tapi memiliki kekasih bukan berarti berhenti untuk menyebarkan cinta kan?” haha, kadang aku suka menyebutnya ‘dasar cowok sok kecakepan’, tapi itulah dia, bagaimanapun dia, lelaki itu tetap juara di mataku. Sesekali aku suka memasang fotoku dengannya, entahlah, seperti ingin mengatakan pada dunia, bahwa aku bangga sempat mengenalnya dan merebut hatinya.
Cukup, sudah cukup cerita tentangnya. Kali ini kembali padamu, Langit. Kau ingat saat beberapa kali kita jalan, bahkan berlibur bersama ke Pulau? Apa yang kau rasakan, merah? Aku tak tau dan aku tak bisa menebak, karena sebenarnya kau sukar sekali di tebak. Semenjak kau bersamanya, entah mengapa ada yang berubah darimu, tapi itu membuatku tak suka, entah, entah apa, karena waktu kita terlalu singkat untuk saling mengenal lagi satu sama lain. Entah aku yang terlalu cepat pergi, atau kamu yang terlalu cepat menjauh.
Merah, ada rasa takut saat ingin menyapamu, kadang. Kadang, harus ada gejolak antara hati dan pikiran untuk menghubungimu terlebih dahulu. Tapi, lagi-lagi aku ingat kata Yuda, spread the love, tak ada salahnya menjalin silaturahmi denganmu, kan? Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajakmu mengobrol di chat.
Langit, jika ada waktu, aku ingin membuat kisah kita. Aku buatkan skenario tentang kisah kita. Karena sesungguhnya, apabila kita tidak bisa bersama, karyaku cukup mewakili, bahwa selama ini, aku menyimpan rasa padamu. Saat ini, marilah kita jalani hidup kita masing-masing.
Merah, aku pergi, bukan berarti tak setia, aku pergi demi untuk cita-cita. Maaf bila mungkin kita harus terpisah, relakanlah mungkin ini sudah takdir-Nya. Kutak ingin ada benci, kutak ingin ada caci. Yang aku ingin kita selalu baik-baik saja. Kenangan kita tak kan kulupa, ketika kita masih bersama, kita pernah menangis, kita pernah tertawa, pernah bahagia bersama. Semua akan selalu kuingat, semua akan selalu membekas, kita pernah bersatu dalam satu cinta, dan kini kita harus terpisah. Aku pergi...

0 Komentar:

Posting Komentar