• Twitter

23 Desember 2015

Berdamai dengan Langit

Merah, di takdir manakah kita akan bertemu kembali?
Ku kira, kita tidak akan berjumpa lagi, ku kira kisah kita akan benar-benar berakhir, ku kira semua harapanku tak akan menjadi nyata, dan ku kira mimpi kita berdua hanya akan menjadi mimpiku saja.
Ya, sesakit itu perkiraanku tanpa kamu disisiku. Hanya rasa sesal yang ku pikirkan.

Bahkan bunga di tepi jalan pun seolah tak ku perdulikan.
Jangankan bunga, rerumputan yang hijaunya mengundang perhatian pun tak mampu menarik hatiku.
Langit bersama senja berwarna kuning itulah yang mampu menguasai pikiranku.
Langit bersama rintik hujan itu jugalah yang mengisi seluruh hatiku.
Ya, hanya Langit.


Hari itu, entah aku harus bahagia atau bersedih, aku mengantarmu pada bahagia bersamanya, tapi aku sendiri tak merasakan bahagia itu.
Ya hari itu, kita bertemu, dalam perjalanan yang sebenarnya tak kuharapkan.
Tapi hati kecil ini seolah meminta, pertemuan singkat yang mungkin bisa mengubah segalanya.
Tapi hati, mana pernah ia sejalan dengan pikiran.
Pikiranku bergejolak, ingin rasanya menyudahi semuanya, tapi rasa, selalu mampu mengalahkan.
Hari itu, aku mengantarkanmu pulang ke kotamu, ku kira kau akan bertemu dengan kekasihmu, ku kira kau akan mengulang kisahmu dengan kekasihmu, ku kira pertemuan itu adalah pertemuan terakhir kita. Tapi ternyata ku salah.

Hari itu, aku mendengar kabarmu akan ke kotaku.
Kau tau rasanya? Seperti ingin meneriakkan kata bahagia. Tapi kurasa itu terlalu berlebihan, aku hanya mampu diam, diam-diam mendoakanmu semoga tak lekas menjadi angan.
Ya aku takut bermimpi, kalau-kalau jatuhnya menjadi sakit.
Merah Merah, betapa hebatnya cinta yang kau tanamkan. 

Hari itu, aku merasa menjadi orang paling berharga di dunia. 
Kekasihmu menghubungiku, mengatakan selamat atas keberhasilanku.
Bingung? Ya tentu bingung, aku berhasil atas apa? Aku bahkan tak memperjuangkan apa-apa.
Aku hanya memendam rasa, yang kemudian menjadi angan.
Tapi ia menjelaskan semuanya.
Merah, benarkah kau memilihku?
Benarkah aku berhasil menumbuhkan cinta padamu selama enam tahun itu?
Benarkah yang kekasihmu katakan padaku?
Sejujurnya, aku mengharapkan dirimu mengatakan 'Benar'

Hari itu, kita kembali membuat kisah, tapi itu hanya menurutku.
Menurutku, hari-hariku yang penuh dengan namamu adalah pertanda, pertanda bahwa aku akan bersamamu, kelak.
Tapi, lagi-lagi aku takut bermimpi.
Aku biarkan semuanya berjalan apa adanya.
Aku biarkan waktu menjawab semuanya.
Aku biarkan semesta mempertemukan kita.
Aku biarkan...
Aku hanya bisa berdamai pada Langit, berharap waktu mampu bekerja sama, berharap semesta mendukung, berharap semuanya indah pada akhirnya.

Langit, izinkan aku bertanya sekali lagi. Di takdir manakah kita akan bertemu kembali?




0 Komentar:

Posting Komentar