• Twitter

9 Januari 2018

Aku yang bodoh, Merindukanmu...

Malam yang terlalu dingin ini  menemani kesendirianku yang berteman sepi. Aku yang tak terdefinisi. Aku bahkan bingung pada diriku sendiri, yang terlalu naif, pecundang, dan tak tau diri. Mencoba untuk ingin mengulang segala rasa yang pernah ada. Tapi aku bahkan tidak jujur pada diriku sendiri. Entah aku yang terlalu bodoh, atau aku hanya takut pada realita?
Yaaa, realita yang tak pernah sejalan dengan hati, yang selalu bertolak belakang dengan mimpi. Yaaa, mungkin aku takut pada realita. Dan aku terlalu bahagia akan mimpi.
Memimpikanmu masih menjadi hal paling menyenangkan.
Atau mungkin, aku memang terlalu bodoh. Mengharapkan hal yang mustahil terjadi. Memilih untuk menjadikanmu nyata, bahkan dalam mimpi saja kau tak pernah terasa begitu nyata. Bagaimana mungkin kamu akan benar-benar nyata (?)


Malam ini, sedikit api telah membakar sebatang lilin kecil yang tak bersalah. Lilin itu berniat baik, ingin memberi terang pada sekitarnya. Tapi apalah dayanya? Ia hanya mampu diam meski harus merasakan sakit, tapi dibalik rasa sakitnya, setiap orang di dekatnya menjadi bahagia.
Yaa, lilin rela menjadi bodoh hanya untuk melihat orang yang disayanginya menjadi terang.
Lilin begitu merindukan orang tersebut, itulah mengapa ia rela merasakan sakit hanya untuk melihat seseorang.

Malam ini, Aku berteman dengan air mata. Menulis sebuah kisah tentang rasa. Tentang "Aku yang bodoh, merindukanmu"

Ada hal-hal yang kadang tak perlu kita akui.
Ada pula hal-hal yang kadang tak perlu kita ketahui.
Ada baiknya jika aku tak perlu mengakui dan kamu pun tak perlu mengetahui~
Ada saatnya aku seharusnya tak mengetahui dan kamu tak seharusnya mengakui~
Ada bagian-bagian yang ternyata lebih sakit ketika pengakuan itu terucap~
Mungkin aku terlalu percaya pada resah, hingga saat langit terindahnya pergi, aku rayakan pedih dalam sakit yang menyesakkan~

Dear mimpi yang selalu menyenangkan kala ia datang...
Atas nama rindu kutulis sebuah pengakuan.
Mewakili suara yang tak mampu ku ucapkan.
Aku ingin membuat kisah lagi. Berbagi cerita.
Aku rindu saat aku hanya bisa bungkam ketika melihat matamu. Aku rindu ketika aku tersipu malu oleh suaramu. Aku rindu mendengar detak jantungku sendiri yang terasa begitu cepat ketika bersamamu.

Agar kamu lebih memahami arti kataku, kubuat kalimat ini sebagai penutup. "Aku merindukanmu"
Aku mungkin tak ingat kapan pertama kali aku mengajakmu berbicara. Aku juga tak ingat ucapan pertamaku kepadamu. Dan aku bahkan tak ingat ucapan terakhirku padamu, saat dulu.
Yang aku ingat hanyalah...
Hari itu kau datang menghampiriku ke depan rumahku bersama temanku. Menyebut namaku. Menanyakan beberapa pertanyaan yang begitu sulit untuk kujawab. Hingga akhirnya kujawab "ya"

Hal yang kuingat lainnya adalah...
Suatu hari yang lain kau menelponku, mengucapkan pengakuan yang menurutku itu lucu. Dan kuanggap itu hanya lelucon.
Aku membiarkan lelucon itu menertawaiku, membuatku menangis, dan anehnya ternyata dapat membuatku sakit~
Itu adalah saat semuanya telah berakhir, aku baru menyadari bahwa tak ada lelucon yang seserius itu.
Aku merasa bodoh.
Dan lebih bodohnya, Aku merindukanmu.

Aku pernah mengatakan kalimat ini pada seorang temanku, "Aku ga pernah bilang Aku sayang kamu, ke dia"
Ya benar. Aku tak ingat apa aku pernah mengatakan bahwa aku menyayangimu? Kurasa tak pernah. Karena ketika aku menyayangimu, biarkan aku yang merasakannya tanpa perlu mengucapkannya.
"Perasaanku padamu, biarlah. Itu urusanku.
Bagaimana kamu kepadaku, terserah. Itu urusanmu."

Aku teringat pada kalimat seorang temanku, "Kalaupun ada yang ke tiga, jangan sampe ada yang ke empat"
Ya benar. Aku berharap akan ada yang ketiga. Dan akan kupastikan itu akan menjadi yang terakhir, sehingga tak perlu ada yang keempat.
Apa salah aku berharap ingin mengulang kisah kita untuk yang ketiga kalinya? Ehmm, sepertinya aku terlalu serakah menginginkan hal yang sulit sekali kau kabulkan.

Enam bulan yang lalu. Aku mencoba mengingatkanmu tentang kenangan.
Tapi sepertinya tak berhasil. Kau masih tetap acuh pada segala hal tentangku. Ingin rasanya aku berteriak, "Apa salahku padamu? Sebenci itukah dirimu padaku? Apakah kamu marah? Ataukah kesalahanku benar2 tak akan mendapatkan maaf darimu?"

Ini adalah kisah, tentang Aku dan Kamu yang memiliki dua kutub saling berlawanan. Seperti air dan minyak yang tak akan pernah menyatu. Kau, yang tak pernah sedikit pun merindukanku. Sebaliknya, aku yang tak pernah sedetik pun tak merindukanmu. Bahkan rindu tak pernah menyatu, bagaimana mungkin kita bisa bersatu?

0 Komentar:

Posting Komentar