DEWA
Sore itu, handphone berdering
terus menerus, keringatku bercucuran, panik, kedua tanganku sibuk membuka satu
lemari ke lemari lainnya, satu laci ke laci lainnya, mataku terfokus pada
setumpuk dokumen yang seolah menjerit ingin diselesaikan, nafasku tak
beraturan, dan kakiku bergetar. “Arghhh...” tanganku membongkar semua dokumen
diatas meja, jatuh berserakan. Aku lupa! BIsa-bisanya aku lupa! Aku duduk
dikursi yang bisa kubilang “kursi panas”,yah sepanas pikiranku sekarang.
Bagaimana tidak? Semua yang ada didepan mataku seperti berbeda, tak seperti
biasanya, aku menghembuskan nafas berat, aku mulai mengatur nafas, aku mencoba
untuk tetap tenang, aku menutup mata...
Ah iya aku baru ingat,
handphone, aku pun memungut handphone di pinggir meja yang sedari tadi
berdering tak ada habisnya. Ketika kulihat, yah tentu saja, sebuah nomor GSM
yang kusimpan dengan nama “Dewi” itu sudah menelponku sebanyak 28 kali. 28? Apa
ini pertanda? Tapi pertanda apa? Aku menutup kembali mataku. Aku lupa!
BIsa-bisanya aku lupa! “Arghhh...” aku membuang tubuhku yang lemah ini ke
sandaran kursi, roda-roda kursi ini membawaku
menghadap kanan atas goncangan tubuhku tadi, ketika kubuka mataku,
jendela di depanku yang berjarak sekitar dua meter itu seolah memanggilku. Aku
menghampirinya, aku dekatkan tubuhku dengan kaca, tanganku menyentuhnya,
kulihat detail air hujan tapi sayang aku tak bisa menyentuh air itu. Aku hanya
tersenyum. Aku kembali menutup mata. Aku lupa! BIsa-bisanya aku lupa!
DEWI
Aku hanya melihati tingkahnya
saja dari luar pintu kantornya, dia begitu konyol, mulai dari dokumen diatas
mejanya yang ia bognkar, ia membuka lemari, laci dan kemudian menghempaskan
diri di kursi panasnya. Aku tak tau mengapa hari ini ia sering menutup mata,
kenapa dengan dia? Kemudian kuliaht ia mendekat ke jendela. Dia benar-benar
konyol, tampaknya dia begitu panik. Apa dia lupa bahwa hari ini tanggal 28?
Yah, 28 Februari, hari ulang tahunnya. Aku hanya tersenyum, kemudian aku masuk
kedalam ruangannya.
“Dewa
sayang” uajrku dengan lembut dan memeluknya dari belakang, ucapanku tadi tepat
dibelakang telinga kanannya, kulihat wajahnya, kemudian mata kami saling
beradu, senyum simpul kami tampak begitu jelas. Ia hanya diam.
“Aku lupa! BIsa-bisanya aku
lupa!” ujarnya, posisi kami tak berubah, masih sama seperti sebelumnya, dan
seperti biasanya.
“Lupa apa?”
“Entahlah...” ujarnya
menggantung sebuah kalimat
“Tapi kamu tidak lupa kan hari
ini tanggal 28 dan itu berarti hari apa?” tanganku semakin erat memeluknya
“28? Memangnya hari ini hari
apa?” wajahnya bingung
Kini kami saling berhadapan,
saling memandangi mata yang begitu hangat,matanya yang menemaniku hampir dua
tahun ini, matanya yang meneduhkan tapi membuatku semakin lemah
“Selamat ulang tahun Dewaku
sayang” senyumku mungkin adalah senyum terakhir yang ia lihat. Pisau kecil
diatas mejanya kutusukkan ke perutnya
“Selamat tinggal Dewaku
sayang...”
Jakarta, 25 Maret 2015
0 Komentar:
Posting Komentar