“Mbak pernah naik kapal
terbang ngga?” ujarnya saat aku membeli es teh seharga tiga ribu, saat itu aku
bersama Gill, teman baikku, sesaat mendengar mbak-mbak penjual es keliling itu
kamu saling berpandangan, seolah bertanya apa maksudnya?
“Kapal
terbang?” jawabku dengan bingung
“Iyah, kapal terbang mbak”
sembari ia menggerakkan tangannya seperti pesawat yang hendak terbang
“Maksudnya pesawat mbak?” ujar
Gill memotong obrolan kami, mbak penjual es itu tersenyum
“Oh, iya pernah mbak” jawabku
“Kemana mbak?”
“Yah kemana aja mbak, ke luar
kota pernah, ke luar negeri juga”
“Ah? hahaha” aku semakin
bingung mengobrol dengan mbak penjual es ini, aku memandanginya yang sedang
mengaduk gelas terisi es, air, teh dan gula
“Ke Kalimantan pernah gak
mbak?” ujarnya lagi
“Ehm, pernah mbak, kenapa yah?”
“Gakpapa mbak, nanya aja kok.
Pasti enak yah naik kapal terbang”
“Hehe, ehm, yah biasa aja sih
mbak”
“Pasti enak mbak. Kalau di
kapal terbang gitu yang diliat apa aja sih mbak? Kita bisa liat apa aja dari
atas situ?”
Aku dibuat bingung oleh mbak
ini, bukan bingung dengan jawaban apa yang harus kulontarkan, tapi bingung apa
alasan orang ini bertanya demikian
“Yah... Hamparan awan mbak,
kalau didaratan kita bisa melihat lautan dan hamparan hijaunya sawah, kalau
diatas ya litanya lautan
awan, hehe” jawabku dengan agak melucu
“Aku gak bisa bayangin mbak”
“Emang kenapa sih mbak nanya
gitu?” Tanya Gill dengan nada agak meninggi, dan mbak penjual es itu hanya
tertawa sembari memberi pipet pada gelas berisi es teh. Aku dan Gill saling
menatap dan bingung.
“Aku pengen banget mbak naik
kapal terbang, dari kecil aku nggak pernah ngerasain naik kapal terbang tapi
cuma bisa ngeliatin doing, ternyata kapal terbang itu gede, tapi kalau udah
diatas kok keliatannya kecil banget yah” jawabnya dengan nada datar dan polos
Aku hanya diam, kaku, tidak
bisa berkata-kata lagi, aku menatap orang yang kini didepanku dengan tatapan
iba, aku hanya diam saja.
“Hehe, tapi yah gimana yah,
orang kayak saya mah nggak bakal bisa
naik begituan yah mbak mas yah”
ujarnya lagi
“Kok
gitu mbak? Pasti bisa kok, berdoa terus aja” jawab Gill sesaat setelah
melihatku yang hanya diam
“Iya
mas, pasti bisa kok, pasti bisa bermimpi... hehehe” jawab mbak itu dengan
senyum dan kemudian memberi gelas berisi minuman yang kupesan, dan kemudian
Gill membayarnya dengan uang pas. Aku masih saja diam, perasaanku seperti
diiris-iris. Entahlah, aku seperti bisa merasakan apa yang ia rasakan. Mbak itu
kemudian berlalu meninggalkan kami dengan sepedanya dan melanjutkan
pekerjaannya. Semakin ia menjauh tiba-tiba airmataku keluar, kau masih diam
saja, kaku, kemudian aku melihat Gill, kami saling berpandangan, aku menangis,
dan Gill tersenyum.
“Kasihan
ya dia, orang seperti mereka sangat ingin naik pesawat, sedangkan orang kayak
kita malah enak-enakan. Seharusnya kita juga bersyukur dengan apa yang kita
punya sekarang” kata Gill. Aku hanya mengangguk dan kami pun melanjutkan
perjalanan
Jakarta, 29 April 2015
0 Komentar:
Posting Komentar