• Twitter

29 Agustus 2020

UNTUK AIR YANG TAK TERDUGA (part 3)

“Suaramu masih begitu melekat di telingaku sesaat setelah aku pergi menjauh. Aku masih menyangka bahwa semua ini hanyalah mimpi indah, yang saat kuterbangun aku akan menangis karena bahagia. Tapi rupanya ini adalah kenyataan. Yaa, kenyataan, bahwa kita baru saja saling berjabat tangan, saling berpandangan dengan lekat dan saling tersenyum. Terima kasih..”

 

Aku kembali memutar otak, Aku harus ngomong apa nih setelah ini?! Apa yaa?? Hhhmm… Akhirnya aku tersenyum, begitu melihat tempat kost mu yang terlihat tak biasa. “Di sini kost nya mahal ya?” begitu tanyaku. Kamu pun menjawab dengan santainya, “Enggak sih, berapa ya kemarin, 2,3juta.” DEG! Sesaat aku kaget, like?? Whaatt?? 2,3 per bulan kamu bilang gak mahal? Hhhmm, oke baik! Aku pun hanya tersenyum kecut. Kemudian kau pun menjelaskan “Di sini tuh enaknya, tempatnya dibersihin tiap hari”. Trus aku shock dong? Aku tanya lah “Dibersihin gimana? Kayak hotel gitu?”, kau pun hanya mengangguk, kemudian kembali menjelaskan “Iya, trus pakaiannya dicuciin. Trus juga keamanannya terjamin. Tadi mas-mas yang duduk di situ itu stay 24 jam di sini, jaga di sini”. Aku pun mengangguk paham. 


Kemudian aku kembali bertanya seputar kost di sini “Oohh gitu. Di sini pasti rata-rata anak UI ya yang ngekos?”, kau pun mengangguk “Iyaaa. Kebanyakan anak UI yang s2 juga sih kayaknya”, dari obrolan itu, aku pun menyambung ke hal lain tentang profesimu, “Oh S2.. Oh ya emang kamu spesialis ini sama s2 itu beda ya?”. Tak kusangka ternyata kau menjawabnya dengan antusias, “Beda, malah kalo di luar negeri itu spesialis setara dengan s3. Jadi kalo di luar itu, setelah lulus dokter, trus dokter muda 2 tahun itu setara s2”, karena aku penasaran ya aku pun bertanya, “Oh 2 tahun yang kamu di Kediri itu?”, kamu pun menjawab, “Bukan, yang di Kediri itu pengabdian, dokter muda itu yang koas itu loh, nah itu yang setara s2. Jadi sekolah dokter 3,5 tahun itu itungannya s1, trus koas 2 tahun itu jadi s2. Itu kalo di luar.” Setelah kau menjelaskan begitu, akupun langsung paham. Kemudian aku bertanya lagi, “Oh, jadi kamu sekolah dokter s1 itu 3,5 tahun?”, Kamu pun mengangguk dan menjawab “Iya”. 

 

Aku mencoba untuk mencari pembahasan lagi, tapi tak kusangka kau yang kini bertanya, “Kamu di sini ngekos atau ngontrak?”. Aku pun menggeleng, “Enggak dua-duanya, aku di rumah papa.” Kamu seketika shock, seperti tidak tahu bahwa selama ini aku tinggal bersama papa, “kamu gak tau?” tanyaku karena aku melihat wajah bingungmu “Enggak tau. Terus rumah yang di Surabaya?”, tanyamu masih dengan wajah bingung itu. (Diam-diam aku suka dengan wajah bingungmu, aku pun senyum sesaat). Aku menjawab apa adanya, “Iya yang di Surabaya, mamaku sama kakakku yang kedua”, kau seperti mulai memahami “Oh, jadi kamu di sini ada rumah gitu ya sama papa?”, aku mengangguk sambil menjawab “Iyaa, tapi rumahnya ngontrak juga sih. hehe” jawabku sambil mencoba mencairkan suasana. Kemudian kamu bertanya lagi, “Trus tadi di kampus dari kapan? Dari pagi?”, aku menggeleng dan menjawab “Enggak, dari jam 3an lah”. Kamu tampak shock sesaat sambil mengangguk “Oh berarti sama kayak aku tadi ke rscm, juga dari jam 3an”. Aku hanya menjawab, “Oh iya? haha”, kamu pun mengangguk. Dan mata kita saling bertautan kembali dalam beberapa detik. Aku selalu suka, menatap matamu yang indah itu~

 

Kemudian aku pun melanjutkan obrolan seputar profesimu yang sempat terpotong tadi, “Btw, kenapa ambil spesialis onkologi radiasi, fi--?”, tanyaku dengan wajah penasaran. Kamu pun menjawab “Karena di dr.Soetomo spesialis ini tuh lagi dibutuhkan banget, makanya aku direkomendasikan di sini. Kalo kayak spesialis penyakit dalam atau spesialis anak gitu gitu kan udah banyak. Jadi kan nanti setelah lulus spesialis onkrad ini, aku bakal balik ke Soetomo”, begitu mendengar penjelasanmu itu aku pun langsung paham. “Dr.Soetomo?”, aku bertanya untuk memastikan, antara bingung dan pengen denger dari kamu langsung, “Iya, karang menjangan”. Hahaha! Aku langsung ketawa, sebenernya aku juga udah tau sih, kalo dokter sutomo itu ya karang menjangan, haha. “Oh, jadi karena spesialis ini tuh jarang ada ya di Surabaya?”, kamu mengangguk, “iya, jarang..” Kemudian aku melanjutkan lagi, “Makanya kamu ambil spesialis ini. Hhm, oke oke. Tapi berarti sekolah ini tuh Cuma ada di UI atau gimana?”, kamu pun mengiyakan, “Iya kalo sekolahnya adanya Cuma di UI, karena alatnya juga lebih lengkap di sini.” Aku pun mengangguk paham, “Trus berapa lama sekolahnya fi--?” tanyaku penasaran, kamu pun menjawab “4 tahun”, walaupun aku sudah tau bakal sekitar 4 tahun, tapi aku shock kalo denger dari kamu, “hah? 4 tahun? Lumayan yaa..” tapi kamu menjawab hal yang lebih mengejutkan “iya, 4 tahun itu standart sih, malah kalo spesialis bedah atau yang lain gitu bisa 5 sampe 8 tahun”. Seketika itu aku lebih kaget mendengarnya, gilak gilak, lama banget dah sekolahnya. “Waw! Lama banget kalo itu sih. Berarti kamu bakal di Jakarta 4 tahun?” tanyaku, dan kamu pun mengangguk sambil tersenyum, “Iya”. Aku pun membalas senyuman itu, sambil berucap dalam hati Berarti kita bakal di satu kota yang sama dalam 4 tahun, semoga ada keajaiban ya, aamiin ^^

 

Sangat disayangkan obrolan kita yang begini singkatnya, pada saat itu aku mendengar suara mengaji karena hendak azan maghrib. Aku pun mulai menutup kancing jaketku, bersiap akan pergi. Sebab tak mungkin juga aku berlama-lama di sini (Demi kesahatan jantung juga sih, karena walaupun menenangkan bersamamu, jantung ini masih saja berdetak begitu kencang saat berada di dekatmu). Saat aku sedang merogoh jaketku mencari sesuatu, kamu memberitahu sesuatu, “Kunci? Ini kan nyentel!” ujarmu sambil menunjuk kunci motor yang memang sedang menggantung di motorku, aku pun menggeleng, “Enggak bukan. Aku nyari masker. Mana ya maskerku ya” sambil terus terlihat gelisah, aku mencari maskerku. Kamu juga tampak bingung, kamu pun bertanya, “Gak ada ta? Aku ada kok kalo kamu mau”. Ingin sekali menjawab mau masker dari kamu, tapi entah mengapa aku malah menggeleng. “Enggak, aku ada kok. Aku selalu bawa masker dua”, kemudian aku pun mengambil masker lain dari dalam tas. Aku pun menatap matanya dan berpamitan, “Yaudah kalo gitu aku balik yaa”, kamu mengangguk sambil menatapku, kemudian bertanya, “Rumahmu jauh ta?", aku berusaha tersenyum, walau sebenarnya sedih harus segera berpisah, “Ehhmm, yaa, lumayan, di Jakarta selatan. Tapi ini kayaknya aku mampir ke kosan temen aku dulu, mau numpang sholat”, kamu pun hanya menggangguk. Sambil aku memakai masker kamu kembali berkata, “Ati-ati ya”. Sungguh menyejukkan, ingin rasanya berlama-lama di sini. Tapi aku sadar diri, bahwa tak baik perempuan berlama-lama di luar, apalagi udah maghrib. Aku pun mengangguk dan tersenyum (padahal gak bakal keliatan juga senyumnya karena udah pake masker). Mata kita kembali saling bertatapan, senangnya.. Aku pun mengucapkan salam, dan kamu membalasnya, kemudian aku pergi. Kamu melihatku sampai aku menghilang dari pandangan.

 

Sesaat kemudian, aku menghentikan motorku. Diam sesaat, dan aku menangis. Yaa, aku menangis. Karena rasa bahagia yang baru saja terjadi. Pertemuan sesingkat itu rupanya mampu memberi rasa bahagia yang begitu besar. 

Terima kasih ya, Air.. 

Tiba-tiba anggapaku tentangmu yang dingin dan cuek hilang setelah pertemuan kita ini. 

Terima kasih telah menjadi hangat dan meneduhkan..

Aku menantikan pertemuan kita selanjutnya~

0 Komentar:

Posting Komentar