“Hay Yose, apa kabarmu disana? Ternyata sudah sangat
lama kita tak berjumpa. Tapi entah mengapa hadirmu serasa begitu dekat denganku
disini? Walau sebenarnya kutau, ini bukanlah ragamu. Namun, hanya bayanganmu
yang dibawa oleh hembusan angin”
Seketika
airmataku mengalir di pipi ini, bukan sedih, hanya saja terharu dengan buku
yang baru saja kubaca dan baru 20 halaman kuhabiskan.
“Yose, aku ingin bercerita. Saat
itu, 10 agustus 2012, aku merasa begitu kehilanganmu. Walau ku tahu setiap
pertemuan pasti akan ada perpisahan. Aku takut Yose. Takut apabila sang waktu
memberhentikan detiknya hingga kita tak bisa lagi berkomunikasi. Takut apabila
sang jarak memotong jembatannya hingga kita tak bisa lagi berjumpa. Takut
apabila sang otak tiba-tiba terhenti hingga kita tak bisa saling mengingat
kembali. Lebih khususnya, aku takut benar-benar kehilanganmu, Yose…”
Airmataku semakin deras. Ooh, kenapa ini? Padahal tokoh
Viona ini adalah orang asing bagiku, yang hanya kebetulan bukunya yang berjudul
“Aku tak mau menjadi yang haram bagimu,
Yose” itu kubeli. Dan tokoh Yose? Aku jadi teringat “Sang Antropolog” yang
sedang studi di Kota Pelajar.
Aah,
nyatanya “Sang Antropolog” itu datang lagi dalam memori otakku…
“Yose? Apa kau tahu mengapa aku
begitu tak ingin menjadi yang haram bagimu? Aku lelah Yose. Lelah mencari yang
terbaik dari bagian yang terbaik
disekelilingku. Aku bingung harus menuntun kupu-kupuku kemana lagi?
Sedang tiada bunga yang mekar dengan indah, tiada bunga yang harum baunya,
tiada bunga yang sedap dipandang. Nyatanya kupu-kupuku terdiam di mahkotamu!
Mungkin karena warnamu yang merah menyala. Namun, sesaat ketika kupu-kupuku
terbang mencari sang embun untuk membasahinya, dan ketika kembali??? Sebuah
kenyataan pahit! Ingin rasanya kembali menjadi kepompong atau ulat saja.
Kutemui kupu-kupu indah berwarna putih suci yang juga hinggap di mahkotamu…”
Ingin
rasanya kututup buku ini dan berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan
wajahku yang penuh airmata ini. Aku pun tak kuasa menahannya lagi, aku tak bisa
membohongi hatiku lagi, aku tak mampu bertahan lagi. Ooh tuhan, perasaan apa
ini? Seakan aku bisa merasakan apa yang Viona rasakan. Tapi, apakah Yose tahu
tentang ini? Atau, apakah “Sang Antropolog” itu juga tahu?
“Yose, kamu dimana? Aku hanya seorang wanita yang
sedang kesepian! Yose, aku ingin bercerita. Sesaat setelah kepergianmu, aku
sempat merindukanmu. Sangat amat merindukanmu, Yose”
Nyatanya
aku memutuskan untuk melanjutkan membaca buku ini. Dan nyatanya, seperti ada
pisau yang menusuk jantungku. Ooh, aku benar-benar merasakan yang Viona
rasakan.
-Aku
merindukanmu, Sang Antropolog, Sang Berlian Tuhan-
“Tapi Yose, bolehkah aku bertanya? Apakah kau pernah
merindukanku? Namun, kau tak pernah megatakan bahwa kau merindukanku kan? Jadi
jelas saja jawabannya pasti TIDAK. Oh ya, tentang kupu-kupu indah berwarna
putih suci yang hinggap di mahkotamu. Selamat ya…
Aku
hanya bisa tersenyum jika memang itu pilihanmu, dan kau tidak memilihku. Tak
masalah, mungkin aku bukan yang terbaik bagimu. Walau sejujurnya kau sudah yang
terbaik bagiku, Yose. Yose, jika bisa, aku ingin menangis di depanmu dan
mengeluarkan segala isi hatiku, aku ingin berkata jujur, Yose. Tapi nyatanya
aku tak bisa. Aku terlalu lemah…”
Astagaaaaa,,,
inilah faktanya,,, Viona ini penulis terbaik yang pernah saya tau. Isinya
benar-benar mewakili isi hatiku.
Ooh,
sang Antropolog, jika aku bertanya sama dengan yang Viona tanyakan pada Yose,
kau menjawab apa? Apa kau juga akan mengatakan TIDAK?
Ooh,
sang Antropolog, sesungguhnya aku juga ingin berkata jujur padamu. Namun,
rasanya situasi dan kondisi tidak mendukungku.
“Yose, dihari bahagiamu nanti. Aku
tak bisa datang menemuimu dan berjabat tangan denganmu sembari mengucapkan Selamat. Aku jauh darimu Yose. Namun,
disini kulantunkan doaku untukmu, selalu, Yose…”
Hari
bahagia? Apa maksud Viona?
“Di hari bahagiamu, kau akan bertemu
banyak orang yang dengan senyuman menghampirimu dan meraih tanganmu dengan
mengucapkan selamat. Dan dengan
senyuman pula kau akan menjawab Terimakasih”
Aku
masih tidak tau apa maksud Viona, hari bahagia itu? Akhirnya, kulanjutkan membaca
buku Viona di bagian 3.
“Aku tak mau menjadi yang haram
bagimu, Yose. Apakah aku egois? Permintaanku berlebihan? Sejujurnya, aku hanya
tak ingin benar-benar kehilanganmu, Yose. Kepergianmu saja sudah membuatku
sangat sedih, bagaimana jika kehilanganmu?”
Ya
Allah, serasa airmata ini tak pernah habis dari sumbernya, mengalir dan terus
mengalir. Jika ada sedikit saja keberanian di diriku, aku juga ingin
mengatakan.
“Aku tak mau
menjadi yang haram bagimu, Sang Antropolog”
Tapi
kapan aku bisa mengatakan itu? Aku menunggu “waktu” itu akan datang…
Kepada engkau
Sang Antropolog, Sang Berlian Tuhan…
Mungkin
“Hari bahagia” versi Viona dan aku berbeda.
Saat
tiba hari bahagiamu, 20 September 2012. Aku tak bisa berada di sekelilingmu.
Aku jauh darimu…
Maafkanku
tak bisa menjabat tanganmu dan langsung mengatakan “Selamat Ulang Tahun”
Aku
hanya bisa duduk menghadap kiblat dan bersujud pada-Nya dengan memohon agar
engkau menjadi sosok yang lebih baik, agar semua harapanmu tak pernah menjadi
kosong…
Dan
mungkin “Isi Hati” versi Viona dan aku hampir sama.
Semoga
kau mengerti,
Semoga
kau memahami ^_^
-BeBee-
2 Komentar:
Masih gak mudeng sama ceritanya :D
hai udah berkunjung balik
Posting Komentar