Hai, merah.
Aku pernah izin padamu, aku pamit J ehm tidak, tidak mengatakannya secara langsung padamu, hanya melalui
sedikit rangkaian kata pada sosial mediaku.
Maaf, aku bukan pergi tanpa alasan, begitu
banyak pertimbangan yang bergejolak dalam hati ini, Langitku. Banyak, begitu
banyak.
Aku sempat bersorak bahagia saat
mendengarmu akan ke kotaku. Kukira ini benar-benar skenario Tuhan yang begitu
indah, hingga Tuhan mengirimmu ke sini. Mungkin untuk merajut kembali kisah
yang belum terselesaikan. Tapi, ternyata aku salah. Tuhan punya rencana lain. Kudengar,
kekasihmu, mungkin lebih tepatnya mantan kekasihmu, berada pada satu kota
denganmu? Aku senang mendengarnya, tapi sejujurnya, ada sedikit rasa ngilu.
Aku tak tau harus merespon apa, ketika
suatu siang aku mendapat pesan darinya, ragu, antara ya atau tidak untuk
membalas. Tapi, siapalah aku yang sok sombong tidak ingin membalas? Akhirnya aku
membalasnya, walau ada sedikit rasa takut.
Merah, tapi tentu bukan persoalan itu. Aku
pamit, bukan karenanya. Tapi karena hati, yang seolah berteriak lelah, mungkin
ia terlalu lelah menunggu. Aku baru tau kalau hati ini rupanya terlalu lemah,
ia tak bisa dibiarkan begitu lama, mungkin sangat lama. Semenjak hari itu, hari
pertama kali kita bertemu, hati ini berdegup begitu kencang, hal yang serupa
terjadi saat kita terakhir bertemu. Berapa lama? Mungkin sama dengan yang kau
katakan pada mantan kekasihmu, 6 tahun. Tapi, apa yang kau katakan pada mantan
kekasihmu tak kau katakan padaku, benar kan? Kau bahkan tak pernah mengatakan
kau menungguku juga selama itu. Kau juga tak pernah mengatakan bahwa selama itu
kau mencintai hanya satu hati, yaitu hatiku. Kau tak pernah mengatakan hal itu
padaku merah. Hingga aku memutuskan untuk membuat kesimpulan sendiri, bahwa
yang kau katakan pada mantan kekasihmu adalah kebohongan belaka. 17 bulan 17
hari, kau bersamanya, seharusnya bisa menggantikan sosokku, bukan? Yah,
seharusnya demikian. Aku sempat berpikir, bahwa ia adalah subtitusi, tapi
apapun itu, 17 bulan bukan waktu yang singkat utk sekadar menjadikannya
subtitusi, ia sungguh wanita berharga yang seharusnya layak mendapat cintamu. Dan
aku? Aku rela kau jadikan topik pembicaraanmu dengannya, untuk membebaskanmu
dari ikatannya. Yah, aku hanya alasan yang kau buat-buat untuk agar kau bisa
pergi darinya, kan?
Jika kau ingin mendengar kejujuranku,
sejujurnya aku ingin kau mengatakan, “Tidak”. Tapi apalah dayaku, Langit. Nasi sudah
menjadi bubur. Mataku yang selama ini tertutup rupanya telah dibukakan oleh
sesosok pria.
Kau pernah katakan padaku, pikirkan
kembali jika ia beda agama. Yah, lelaki itu, sebut saja Yuda. Lelaki 28 tahun
yang beberapa bulan lalu menjalin hubungan denganku tanpa status. Yah, tentu
saja tanpa status, aku tentu tidak mau menjalin hubungan dengannya terlalu
jauh, takut kalau jatuh cinta, jatuhnya terlalu dalam. Lelaki dewasa itu
seringkali bercerita padaku soal romansanya, diam-diam sebenarnya ia ingin
mengajarkanku, bahwa tak ada gunanya berharap pada masa lalu, “Ada lebih dari
satu juga lelaki di dunia ini dan kau masih berhenti di tempat yang sama? Bagaimana
bisa berkembang?”, “Bunga, lelaki yang baik tak akan membiarkanmu”, dan masih
banyak kalimatnya yang masuk dalam otak ini yang cukup aku saja yang
menyimpannya. Itu sebabnya aku begitu bahagia dan ‘betah’ bersamanya, setiap
hari ia memberikan kalimat-kalimat yang mendobrak logikaku, merah. Bahkan
hingga detik ini, tak ada satu hari pun terlewatkan tanpa pesan darinya, walau
hanya sekadar kata, “Hai”, ehm tidak, tidak setiap hari, tapi pasti ada saja
lah pesan itu muncul di layar HPku. Lelaki itu juga mampu merubahku hingga
menjadi begini, perempuan yang tak hanya duduk diam di kursi yang biasa disebut
‘menunggu’. Ya, ia mengajarkanku menjadi Lovablelady, perempuan penuh cinta,
katanya, “Jangan lupa Bunga, spread the love today. Miracle happens to those
who believe.” Kadang aku suka tersenyum sendiri jika mengingatnya. Saat ini, ia
telah memiliki kekasih, “Tapi memiliki kekasih bukan berarti berhenti untuk
menyebarkan cinta kan?” haha, kadang aku suka menyebutnya ‘dasar cowok sok
kecakepan’, tapi itulah dia, bagaimanapun dia, lelaki itu tetap juara di
mataku. Sesekali aku suka memasang fotoku dengannya, entahlah, seperti ingin
mengatakan pada dunia, bahwa aku bangga sempat mengenalnya dan merebut hatinya.
Cukup, sudah cukup cerita tentangnya. Kali
ini kembali padamu, Langit. Kau ingat saat beberapa kali kita jalan, bahkan
berlibur bersama ke Pulau? Apa yang kau rasakan, merah? Aku tak tau dan aku tak
bisa menebak, karena sebenarnya kau sukar sekali di tebak. Semenjak kau
bersamanya, entah mengapa ada yang berubah darimu, tapi itu membuatku tak suka,
entah, entah apa, karena waktu kita terlalu singkat untuk saling mengenal lagi
satu sama lain. Entah aku yang terlalu cepat pergi, atau kamu yang terlalu
cepat menjauh.
Merah, ada rasa takut saat ingin
menyapamu, kadang. Kadang, harus ada gejolak antara hati dan pikiran untuk
menghubungimu terlebih dahulu. Tapi, lagi-lagi aku ingat kata Yuda, spread the
love, tak ada salahnya menjalin silaturahmi denganmu, kan? Akhirnya aku
memberanikan diri untuk mengajakmu mengobrol di chat.
Langit, jika ada waktu, aku ingin membuat
kisah kita. Aku buatkan skenario tentang kisah kita. Karena sesungguhnya,
apabila kita tidak bisa bersama, karyaku cukup mewakili, bahwa selama ini, aku
menyimpan rasa padamu. Saat ini, marilah kita jalani hidup kita masing-masing.
Merah, aku pergi, bukan berarti tak setia,
aku pergi demi untuk cita-cita. Maaf bila mungkin kita harus terpisah,
relakanlah mungkin ini sudah takdir-Nya. Kutak ingin ada benci, kutak ingin ada
caci. Yang aku ingin kita selalu baik-baik saja. Kenangan kita tak kan kulupa, ketika
kita masih bersama, kita pernah menangis, kita pernah tertawa, pernah bahagia
bersama. Semua akan selalu kuingat, semua akan selalu membekas, kita pernah
bersatu dalam satu cinta, dan kini kita harus terpisah. Aku pergi...
0 Komentar:
Posting Komentar