Tanpa kita sadari teknologi telah membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Meski memiliki banyak sekali dampak negatif karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, namun kehadiran ‘teknologi’ masih sangat diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Salah satu diantaranya adalah teknologi yang dikembangkan oleh manusia dalam bidang kesehatan atau lebih dikenal dengan teknologi kedokteran.
Ilmu kedokteran dunia yang bermula dari seorang pemuda bernama Ibnu Sina (atau lebih dikenal dengan Avicenna) beberapa abad yang lalu, telah menginspirasi dan memotivasi banyak dokter-dokter di dunia untuk terus mengembangakannya demi kepentingan umat. Berawal dari alat-alat sederhana yang digunakan oleh Ibnu Sina untuk mengobati raja pada saat itu, kini teknologi kedokteran sudah banyak mengalami perkembangan, seperti : Teknologi Anti Obesitas/kegemukan, Teknologi Reproduksi Buatan, sampai Robot yang bisa melakukan pembedahan tanpa pengawasan manusia.
Namun, dari sekian banyak teknologi yang ditawarkan oleh dunia di bidang kesehatan, tak banyak yang orang di Indonesia yang bisa menikmatinya. Hanya kalangan berkantong tebal-lah yang bisa mendapatkan akses pengobatan ‘terbaik’, tak hanya dari dalam negeri saja bahkan sampai ke luar negeri. Berbeda dengan mereka yang bisa dengan mudahnya mendapat akses pengobatan ‘terbaik’ dengan uang yang mereka miliki, beberapa orang (dalam kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah) mengalami kesusahan dalam mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan pengobatan yang ‘layak’ karena terbentur masalah biaya.
Yang lebih tragis lagi, sering kita jumpai kejadian di ‘sebagian besar rumah sakit di Indonesia’, calon pasien meninggal karena terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengapa? Jawabannya sangatlah simpel, calon pasien/keluarganya terhambat oleh prosedur dari rumah sakit yang terlalu berbelit-belit, hanya karena belum melunasi administrasi rumah sakit tersebut. Bayangkan apabila ada calon pasien kanker otak yang seharusnya cepat mendapatkan pertolongan medis berupa operasi, terhambat, hanya karena keluarga dari calon pasien tersebut tak mampu membayar biaya operasi. Hal tersebut sangatlah memalukan dan seakan-akan menurunkan citra dokter yang ‘katanya’ memiliki pekerjaan yang sangat mulia dengan membantu menyembuhkan orang lain yang mengalami sakit.
Hal di atas mungkin bisa menggambarkan ‘sedikit’ tentang potret pelayanan kesehatan di Indonesia yang cukup memprihatinkan. Meskipun teknologi di bidang kesehatan/kedokteran setiap tahun bahkan setiap harinya selalu menunjukkan peningkatan yang sangat hebat, apa gunanya kalau kemajuan teknologi tersebut tidak bisa dinikmati oleh banyak orang di Indonesia? Apakah memang benar anggapan kalau fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia hanya diperuntukkan kepada kalangan yang ‘berduit’?
Mungkin mulai sekarang-lah kita harus merenungkan hal-hal di atas. Di luar sana, di suatu tempat di Indonesia, banyak sekali ‘pribumi’ yang tak terjamah oleh pelayanan kesehatan yang ‘layak’. Mereka hanya bisa terdiam karena tak mampu membawa keluarga, kerabat, atau tetangga mereka yang sedang sakit untuk mendapatkan pelayanan medis. Seakan-akan, mereka hanya bisa ‘bermimpi’ untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang ‘sama’ dengan orang-orang lainnya.
Di saat seperti inilah dasar-dasar islam harus diterapkan, termasuk dalam tata pembelajaran di semua instansi pendidikan, khususnya di bidang pendidikan yang kelak mencetak dokter-dokter yang tak hanya handal, tetapi juga berjiwa sosial kepada setiap orang tanpa ‘pandang bulu’. Universitas Islam Indonesia merupakan universitas yang patut kita teladani, karena telah banyak menanamkan dan menjadikan nilai-nilai islam sebagai acuan/pedoman dalam setiap proses pembelajarannya. Dengan begitu, Indonesia tak hanya mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas tetapi juga berkarakter.
Semoga untuk tahun-tahun berikutnya, Indonesia tak hanya mampu meningkatkan kemajuan teknologi di bidang kedokteran, tetapi juga mampu meningkatkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh untuk seluruh rakyatnya.
Ilmu kedokteran dunia yang bermula dari seorang pemuda bernama Ibnu Sina (atau lebih dikenal dengan Avicenna) beberapa abad yang lalu, telah menginspirasi dan memotivasi banyak dokter-dokter di dunia untuk terus mengembangakannya demi kepentingan umat. Berawal dari alat-alat sederhana yang digunakan oleh Ibnu Sina untuk mengobati raja pada saat itu, kini teknologi kedokteran sudah banyak mengalami perkembangan, seperti : Teknologi Anti Obesitas/kegemukan, Teknologi Reproduksi Buatan, sampai Robot yang bisa melakukan pembedahan tanpa pengawasan manusia.
Namun, dari sekian banyak teknologi yang ditawarkan oleh dunia di bidang kesehatan, tak banyak yang orang di Indonesia yang bisa menikmatinya. Hanya kalangan berkantong tebal-lah yang bisa mendapatkan akses pengobatan ‘terbaik’, tak hanya dari dalam negeri saja bahkan sampai ke luar negeri. Berbeda dengan mereka yang bisa dengan mudahnya mendapat akses pengobatan ‘terbaik’ dengan uang yang mereka miliki, beberapa orang (dalam kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah) mengalami kesusahan dalam mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan pengobatan yang ‘layak’ karena terbentur masalah biaya.
Ooo, kasihan mereka |
Hal di atas mungkin bisa menggambarkan ‘sedikit’ tentang potret pelayanan kesehatan di Indonesia yang cukup memprihatinkan. Meskipun teknologi di bidang kesehatan/kedokteran setiap tahun bahkan setiap harinya selalu menunjukkan peningkatan yang sangat hebat, apa gunanya kalau kemajuan teknologi tersebut tidak bisa dinikmati oleh banyak orang di Indonesia? Apakah memang benar anggapan kalau fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia hanya diperuntukkan kepada kalangan yang ‘berduit’?
Mungkin mulai sekarang-lah kita harus merenungkan hal-hal di atas. Di luar sana, di suatu tempat di Indonesia, banyak sekali ‘pribumi’ yang tak terjamah oleh pelayanan kesehatan yang ‘layak’. Mereka hanya bisa terdiam karena tak mampu membawa keluarga, kerabat, atau tetangga mereka yang sedang sakit untuk mendapatkan pelayanan medis. Seakan-akan, mereka hanya bisa ‘bermimpi’ untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang ‘sama’ dengan orang-orang lainnya.
Di saat seperti inilah dasar-dasar islam harus diterapkan, termasuk dalam tata pembelajaran di semua instansi pendidikan, khususnya di bidang pendidikan yang kelak mencetak dokter-dokter yang tak hanya handal, tetapi juga berjiwa sosial kepada setiap orang tanpa ‘pandang bulu’. Universitas Islam Indonesia merupakan universitas yang patut kita teladani, karena telah banyak menanamkan dan menjadikan nilai-nilai islam sebagai acuan/pedoman dalam setiap proses pembelajarannya. Dengan begitu, Indonesia tak hanya mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas tetapi juga berkarakter.
Semoga untuk tahun-tahun berikutnya, Indonesia tak hanya mampu meningkatkan kemajuan teknologi di bidang kedokteran, tetapi juga mampu meningkatkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh untuk seluruh rakyatnya.
Majulah Indonesiaku, menuju pelayanan kesehatan yang berkualitas dan menyeluruh.
Sumber gambar : http://eriskahaning.blogspot.com/2010/11/busung-lapar.html
7 Komentar:
Aduh pelayanan kesehatan indonesia segitu mbobroknya ya aduh masak tambah di persulit untuk mendapat kesehatan :(
Ya, memang beginilah bel keadaannya.. memang pelayanan kesehatan ini sangat penting, namun apa daya wong dana dan orang-orang yang mengelolahnya kualitas tempe. namun anas yakin, mudah-mudahan generasimu bisa lebih baik.. I make do'a for you...
itu umur berapa sih?? masih kecil kayanya..
tapi perutnya udah gede..
kasihan..
@Muhammad Radhi Aufar : Iya dek,, udah hampir parah memang .. :)
@Anas: Hehheeh,, iya mas, makasih buat doanya ..
Aku juga yakin deh .. :))
@Putri: Iya put,, kasian ya ..
Itu masih kecil banget .. :(
kunjungan balik :)
bagus tuh tulisanmu :D
Posting Komentar